Malaikat Tanpa Sayap

Bahasa Indonesia: Hanging Stepping Stones adal...

Bahasa Indonesia: Hanging Stepping Stones adalah salah satu challenging game yang ada dilokasi TOP untuk mengajarkan peserta training menyelaraskan keseimbangan gerakan badan, emosi dan pikiran dalam menyelesaikan sebuah tugas individual dengan orientasi keberhasilan kerja tim dalam sebuah organisasi. (Photo credit: Wikipedia)

CERMIN HIDUP: MALAIKAT TANPA SAYAP

Sebuah film dari Rako Prijanto

Oleh: Diyah Ayu Candra

 

—-Dalam hidup tidak ada jaminan untuk terus bahagia tidak ada kepastian untuk apapun. Setiap orang bisa terlempar keluar dari kotak rasa nyamannya, secara tiba-tiba. Kita memang hidup dalam sekat-sekat, pengotakan, pelebelan, dan saat lebel kita dicabut kita bukan siapa-siapa lagi.— Malaikat tanpa sayap.

Sebuah ungkapan yang manis dari seorang guru bahasa Indonesia yang sangat berjasa bagi kehidupan anak-anak di suatu desa dekat kota Tulungagung mengatakan, “di dunia ini tak ada yang pasti. Semuanya serba mungkin. Kepastian hanya kampung akhirat. Seseorang yang cerdas adalah dia yang mempersiapkan segala sesuatu yang pasti bukan mereka yang mempersiapkan segala sesuatu yang masih absurd, serba mungkin, belum jelas, belum pasti, dan tak ada jaminan apapun atasnya.”

Dua paragraf diatas jika ditelisik lebih dalam, maka akan mempunyai persamaan walaupun diucapkan oleh orang yang berbeda. Rako Priyanto melukiskan apa yang ingin disampaikannya melalui film, sedangkan guru tadi melukiskannya dengan kalimat lugas kepada murid-muridnya. Rako Prijanto, agaknya ingin menyampaikan sebuah cerita kehidupan real manusia kota di abad terakhir ini. Hal ini terwakili oleh adegan-adegan dalam film yang begitu jelas menceritakan kehidupan yang keras dialami oleh pemain-pemain di dalamnya. Film “Malaikat tanpa Sayap” dengan lembut mengajarkan kepada kita untuk senantiasa bersyukur dan bersabar atas apa yang telah menimpa kehidupan kita.

AYAH JUGA MANUSIA; BUKAN MALAIKAT

Malaikat Tanpa Sayap adalah sebuah film dari Rako Prijanto. Seperti karya sastra yang lainnya isi lahir, dan tercipta dari sebuah perenungan tentang pengalaman hidup, identitas, pandangan filsafat, maupun perasaan-perasaan pengarangnya. Konsep ini memosisikan hakikat penciptaan sastra sebagai ”ruang obsesi” untuk mengadakan pembongkaran (decoding) dan pemaknaan (signifying) tentang pengalaman-pengalaman hidup manusia. Artinya, karya sastra bukanlah fotokopi suatu objek (kenyataan, atau realitas objektif), tetapi lebih pada suatu tindakan menghadirkan kembali kenyataan dalam pergumulan konsepsi, imajinasi, realitas, dan kata untuk direfleksi dan diinterpretasi oleh siapa saja.(3)

Pepatah mengatakan bahwa roda dunia itu selalu berputar. Adakalanya kita berada di atas adakalanya kita berada di bawah, atau mungkin juga kita hanya berada dalam suatu kondisi yang sama. Tak ada yang bisa memastikan. Film ini mempunyai ide yang sederhana, akan tetapi penggarapannya yang total, efek animasi, dan setting yang segar menjadikan film ini ringan dinikmati, meskipun penuh dengan kejutan. Bumbu percintaan di dalam kerasnya kehidupan ynag dominan dalam film ini mengakibatkan penonton begitu nyaman menikmati film sampai selesai.

Kisah percintaan yang penuh dengan dilema. Rumit bagi keduanya, utamanya bagi Vino. Kisah cintanya serumit kisah hidup dalam keluarganya. Dimulai dari permasalahan sock yang mendalam diantara semua anggota keluarganya. Sang Ayah yang mengalami kebangkrutan, sehingga membalikkan kehidupan keluarganya menjadi 360o.

Penggambaran perempuan kota masa kini, yang materialistis dan gegabah tergambar pada Mama yang akhirnya meninggalkan keluarganya. Di saat kondisi  yang sangat genting di keluargany, justru dia meninggalkan keluarganya. Seandainya saja dia mau bersabar dan bersyukur seperti yang telah seringkali disebut-sebut oleh suaminya. Dikarenakan kegelisahan yang dialami sang istri tak lama kemudian akan segera tertepis, karena suami beberapa waktu kemudian mendapatkan pekerjaan sebagai sopir taksi. Meskipun penghasilannya tak seperti saat menjadi direktur. Namun, jika disyukuri tentu hasilnya akan lebih indah. Anak-anaknya tak kehilangan dirinya.

Penderitaan belum berakhir setelah kepergian Mama. Wina kecelakaan di kamar mandi. Kakinya luka berdarah. Setelah didiagnosa, ternyata Wina terkena infeksi dan harus dioperasi, jika tidak kakinya akan diamputasi. Kondisi yang sangat genting ini akhirnya menjadikan hubungan Vino dengan ayahnya merenggang, semakin merenggang. Vino ingin menyelematkan adik satu-satunya. Suatu ketika, dia ingin mencuri motor di sebuah parkiran pertokoan. Namun, apa daya, nasib tak memihak padanya. Justru babak belurlah ia digrebek warga.

Lelaki, makhluk dingin yang mampu memendam sunyinya sendiri, mungkin itulah yang tergambar dalam tokoh Ayah. Setelah kepergian istrinya, dia berusaha mencari pekerjaan apapun yang terpenting bisa memenuhi kehidupan  keluarganya. Dia menjadi ayah dan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Namun, ayah adalah ayah. Bukan malaikat yang bersayap, yang dengan sayapnya mampu menyelesaikan segala permasalahn ayang tengah dihadapinya. Ia tak mampu mengejawentahkan cintanya dalam bahasa lembut seperti istrinya. Sehingga, yang ada selalu saja pertentangan yang berkepanjangan dengan anak lelakinya, Vino.

Itu pulalah yang tergambar dari Vino. Dia mengubur sepinya sendiri. Tawaran untuk mendonorkan jantungnya akhirnya menjadi pilihan untuk mengakhiri kekurangan finansial keluarganya. Sebuah gambaran manusia-manusia kota, mantan orang kaya yang tak bisa bersabar dan bersyukur. Dalam kegelisahan dan kegundahan datanglah Maura yang memberikan cinta kepada Vino.

BERDAMAI DENGAN ARUS

Peresetan dengan pengkotak-kotakan, sekat-sekat yang berdiri tegak diantara manusia, toh hidup ini dunia mainnya orang dewasa kita pura-pua tua untuk melewatinya, atau pura-pura menjadi anak-anak untuk menghindarinya.

Kisah cinta yang penuh dilema terkemas indah. Jalan cerita menjadi semakin nyaman dinikmati dengan cerita cinta keduanya. Isyarat cinta yang sederhana. Tak perlu banyak kata-kata, yang menjadikan seorang Vino menjadi utuh. Sebuah cinta dewasa yang matang, walaupun di usia yang masih remaja.

Cinta yang penuh dilema, saat mengetahui bahwa kekasihnya menderita sakit jantung dan sewaktu-waktu akan pergi tanpa permisi padanya. Rasanya rapsodinya dalam dirinya menjadi nyanyian cintanya, saat mengetahui bahwa jantungnya yang akan ia donorkan untuk kekasihnya. Sungguh, ujian cinta yang sulit tergambarkan. Mendonorkan jantungnya untuk orang yang dia cinta sedangkan dia harus rela pergi untuk selama-lamanya dan tidak lagi bertemu dengan orang terkasihnya itu.

Lelaki, makhluk yang pandai menyembunyikan sepinya sendiri. Mencintai Maura, menjadikan Vino manusia yang utuh. Dia mempunyai teman berbagi. Teman seperjuangan dalam kehidupan. Vino yang memperjuangkan finansial keluarganya. Maura memperjuangkan hidupnya.

Vino dan Maura menikmati kehidupan mereka sekarang. Mereka mulai berdamai dengan arus. Mereka tak lagi memikirkan pengkotak-kotakan dan pelebelan yang ada dalam kehidupan ini.

Kunci dari pernikahan itu adalah komunikasi. Komunikasi itu pulalah kunci dari kehidupan ini. Dalam film ini pula kita menemukan sebuah pesan bahwa komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan. Bagaimana dengan komunikasi menjadikan seseorang yang sekarat, akhirnya bisa mempunyai semangat hidup lagi. Seorang berandalan yang keras kepala, yang akan bunuh diri menjadi mempunyai semangat hidup lagi.

Komunikasi antara kedua insan yang saling jatuh cinta itu menjadikan kehidupan keduanya utuh. Tak lagi separoh. Keduanya biasa membagikan apa yang mereka rasakan sehingga, mereka mempunyai semangat hidup lebih.

TRANSPLANTASI JANTUNG: TRANSPLANTASI KEHIDUPAN

Ternyata takdir berkehendak lain tentang Vino. Ia tidak jadi menjadi pendonor jantung untuk Maura, akan tetapi pendonor jantung itu adalah ayahnya. Dikarenakan sang ayah yang telah merasa tak kuat setelah jantungnya di tembak oleh pacar gelap istrinya, yang datang ingin membawa Wina pergi.

Kepergian papa Vino, sebuah pukulan bagi Vino dan Wina. Jika diminta untuk memilih, maka Vino akan memilih Maura dan Ayahnya tetap ada. Akan tetapi, adakalanya takdir tak pernah memberi pilihan kepada kita. Sehingga, kita hanya boleh menjalaninya saja.

Transplantasi jantung: transplatasi kehidupan. Itulah mungkin kata yang tepat menggambar cerita ayah yang telah mentransplantasikan jantungnya untuk Maura. Berakhirlah film ini dengan manis dan nyaman. Sudah jelaslah bahwa ayah tetap menjadi malaikat bagi Vino. Maskipun, seperti lagu Dewi lestari yang mengungkapkan bahwa malaikat tak bersayap. Itulah, ayah Vino yang telah bekerja keras mempertahankan keluarganya. Bekerja menjadi sopir taksi meskipun tak sesuai dengan pendidikannya sebagai Master.  Diakhir cerita ayah juga mendonorkan jantungnya untuk Maura menggantikan donor jantung yang akan dilakukan Vino untuk Maura.

Ayah rela mati untuk kebahagian anak-anaknya. Ia malaikat tanpa sayap yang tak terlihat, dan tak rupawan.

 

—Lelahmu jadi lelahku juga, bahagimu, bahagiaku pasti,berbagi, takdir kita selalu, kecuali tiap kau jatuh hati, kali ini hampir habis dayaku, membuktikan kepadamu ada cinta yang nyata, setia hadir setiap hari, tak tega biarkan kau sendiri, meski seing kali kau malah asyik sendiri, karena kau tak lihat, terkadang malaikat tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan, namun kasih ini, silakan kau adu, malaikat juga tahu, siapa yang jadi jauaranya, hampamu tak kan hilang semalam, oleh pacar impian, tetapi kesempatan, untukki yang mungkin tak sempurna, tapi siap untuk diuji, kupercya diri, cintakulah yang sejati, namun tak kau lihat, terkadang malaikat tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan, namun kasih ini, silakan kau adu malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya, kau selalu meminta terus kutemani dan kau slalu bercanda anadi wajahku diganti, melarangku pergi karena tak sanggup sendiri namun tak kau lihat, terkadang malaikat tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan, namun kasih ini, silakan kau adu, malaikat juga tahu aku kan jadi juaranya.—–

Rapsodi Rinai

Rapsodi Rinai

 

Allahuakbar… Allahuakbar

Allahuakbar… Allahuakbar

Ashaduanlaillahaillalloh…

Ashaduanlaillahaillalloh…

Ashaduannamuhammadarrasululloh…

Ashaduannamuhammadarrasululloh…

Haya’alasholah…

Haya’alasholah…

Haya’alalfalah…

Haya’alalfalah…

Allahuakbar… allahuakbar

Laaillahaillalloh…

***

            “Pergi… Pergi dari rumah ini.” Suara ibu menggelegar bak petir di siang bolong.

             “Ibu, ingat Ibu, ini maghrib…” Lirih suaraku memanggil-manggil namanya tak terdengar oleh suara ibu yang menggelegar diiringi semilir angin yang membawa rintik rinai malam itu.

            “Silakan memilih ibu atau teman-temanmu (jilbaber) itu, kalau kamu memilih mereka dengan tetap menjadi kamu yang seperti ini (pakai jilbab lebar, tidak salaman sama non mahram, sering ngaji, dan sering sholat tahajjud), ya sudah ikuti mereka, kita mencari hidup masing-masing. Ibu akan mencari hidup sendiri. Silakan keluar dari rumah ini.” Suara ibu benar-benar meninggi dengan wajah yang memerah membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Ibu mengusirku dari rumah. Ayah telah lama sekali tidak ada kabarnya. Ibu, ibulah satu-satunya yang mencukupi kebutuhan hidupku selama ini. Seandainya aku pergi dari rumah ini, bagaimana nasibku selanjutnya?

 

***

            Rintik-rintik rinai membasahi cakrawala yang mulai petang. Sayup-sayup kumandang adzan mengisi ruang telinga. Sebuah pondok kecil terlihat padang dengan satu lampu neon. Pondok ini berpenghunikan ibu dan empat orang anaknya yang mengarungi sisa-sisa usianya.

Sepertinya ada kesalahpahaman antara ibu dan salah satu putrinya. Ibu memang baru saja di rumah sekitar seminggu yang lalu. Ibu baru saja pulang dari Malaysia. Semenjak aku masuk sekolah SMA, sejak itu pula ibu bekerja di Malaysia.

            Di suatu senja saat matahari sudah mau membenamkan dirinya. Ibu baru saja datang dari suatu tempat, ternyata ibu mencari pinjaman uang untuk berangkat kerja ke Malaysia.

            “Ibu, darimana? Maghrib-maghrib begini baru pulang.” Aku memberondong ibunya dengan pertanyaan dengan wajah yang bersungut-sungut.

            “Dari cari pinjaman uang buat kamu sekolah.” Suara ibu ketus dan marah ke arahku.

Ternyata aku telah berburuk sangka pada ibu. Diam-diam ibu sangat keras berpikir bagaimana caranya agar aku b isa bersekolah SMA. Suatu ketika setelah masuk SMA, pernah ada perlengkapan sekolahku yang tertinggal, dengan rasa yang yang mengharu biru, ibu mengantarkannya ke sekolah. Dari sini sudah cukuplah dapat kuketahui betapa ibu sangat luar biasa menyayangiku.

            Beberapa bulan setelah aku masuk sekolah SMA, ibu berangkat ke Malaysia. Alhamdulillahirrabbil’alamin, di SMA N 1 Durenan, kutemukan  orang-orang yang luar biasa. Mereka yang mengajariku banyak hal tentang islam. Kutemukan ekstrakulikuler study kerohanian islam (SKI). Di sini kutemukan seorang pembina SKI yang sangat luar biasa keren. Seorang bapak separuh baya yang sangat energik mensyiarkan islam. Setiap hari jum’at beliau mengisi kajian di mushola kami. Saat siswa baru, aku hanya ikut saja mbak-mbak yang sangat baik, kalem, dan perhatian itu untuk ikut kajian beliau.

            Penyampaian beliau yang sangat bervariasi ditambah fasilitas materi yang dapat kami imajinasikan, membuat kami semakin mudah untuk memahami materi-materi kajian yang cukup berat sebenarnya. Beliau menjelaskan materi-materi terkait dengan syahadatain, mengenal Allah, mengenal Rasululloh, manisnya iman, dsb. yang cukup berat.  Akan tetapi, materi ini dengan sangat mudahnya dapat kami  pahami dengan beberapa analogi-analogi yang beliau sampaikan.

            Waktu itu, memang sudah kuazzamkan diri untuk tetap mengkaji islam selama sekolah di SMA. Basic sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang telah aku dapatkan membuat aku benar-benar keoranjingan dengan ilmu agama. Aku seperti mu’alaf yang baru saja mengenal islam. Hari jum’at itu setelah kajian selesai, tiba-tiba lengan aku ditarik oleh seorang Mbak. Mbak Latif, namanya.

            “Dik, jangan pulang dulu ya? Ada acara SKI yang lain.” Mbak Latif sedikit berbisik mengucapkan kata-kata itu. Pikiranku, ini kan juga acaranya SKI, mengapa masih ada lagi acara SKI? Acara apa lagi? Kok teman-teman yang lain pada pulang?

            “Iya, Dik, disini saja dulu. Nanti aku barengi, Mbak Ifa, kakak kelas waktu MTs pun ikut menimpali kata-kata Mbak-Mbak yang lain. Ada sekitar lima orang teman aku yang masih kelas satu saat itu. Akhirnya kuikuti saja apa kata mereka. Beberapa menit kemudian datanglah Mbak-Mbak tinggi kurus menggunakan jaket hitam dengan gamis kremnya dan tentu tak ketinggalan jilbab lebarnya. Dalam hatiku berbisik,

            “Ih, ni Mbak, siang-siang bolong begini nggak gerah apa? Pakai jaket hitam, pakai jilbabnya selebar seprei lagi. Ih syereeem… Jangan-jangan teroris.” Asyik-asyiknya aku melamun dengan penampilan Mbak ini, eh tiba-tiba Mbaknya mengucapkan salam dan cipika-cipiki (cium pipi kanan-cium pipi kiri). Lagi-lagi hatiku bertanya-tanya.

            “Ih, ngapain sih ini Mbak. Kok pakai cipika-cipiki segala. Nggak tahu apa, aku kan risih kayak begitu.”

            Eh, si Mbaknya malah asyik lempar senyum sana-sini. Tibalah saatnya Mbak-Mbak tadi memulai acara mereka. Ada yang membuka acara. Baru aku menyadari bahwa aku telah berada dalam sebuah forum pekanan sepertinya. Dari kata-kata Mbak yang jadi MC aku tahu bahwa acara itu rutin tiap pekanan dan sangat dinanti-nanti Mbak-Mbak itu. Hatiku berkata lagi.

            “Ih, kayak apa sih ini acara kok sampai ditunggu-tunggu, apa bedanya dengan kajian setiap hari jum’at biasa yang diisi Ust. Agus? Ya sudah dilihat saja dulu lah.”

            Tiba-tiba mbak Santi, Mbak jilbab lebar itu meramaikan suasana.

            “Hayo, perkenalan dulu. Tak kenal maka ta’aruf.” (Sambil membuka bungkus wafer tango yang yummy, habis pulang sekolah, lapar L)

            Semua yang ada di forum itu akhirnya memperkenalkan diri tak terkecuali Mbak Santi. Akhirnya kuketahui bahwa Mbak santi itu sudah menikah, padahal masih kuliah semester lima saat itu. Beliau bilang menikah saat semester tiga. Lagi-lagi hatiku kesengsem sama Mbaknya. Mbaknya baru berjilbab lebar seperti itu sejak kelas dua SMA. Awalnya beliau malah pemain basket. Pakai kaos oblong dan celana olahraga sebatas lutut. Subhanalloh, beliau juga pinter lho ternyata. Bahasa Inggrisnya keren. Padahal beliau jurusan PKn. Sepulang dari acara tadi.

            “Dik Diyah naik apa?”

            “Naik angkot Mbak.”

            “Rumahnya mana, di desa Gandong Mbak. Rumah Mbak dimana?’

            “Wah, kita tetanggaan, ya sudah bareng saja kalau begitu.”

            Nah, semenjak itu hatiku rasa udah nyangkut deh sama Mbak Santi. Mbaknya sih tidak menyampaikan apa-apa kecuali ilmu agama. Ilmu-ilmu yang membuka seluruh mata dan pikiranku. Rasanya setelah beberapa kali mengikuti forum pekanan dengan beliau, ada secercah cahaya bak lentera yang menerangi seluruh hidupku. Dunia rasanya terang seterang Sang Surya di siang hari, seluas lautan biru, dan semerona saat senja. Semenjak itu sedikit-sedikit mulai terlihat perubahan-perubahan dalam hidupku. Bersemangat ke sekolah dengan niat yang benar. Menggapai ridhoNya. Moment-moment kajian pekanan ini seringkali menjadi satu hal yang sangat kutunggu-tunggu.

 

            Dari sini pula dapat kumenngerti mengapa Mbak-Mbak itu memakai jilbab yang panjang dan lebar. Rasanya bertemu dengan mereka adalah oase bagi seluruh jiwaku yang sudah merindukan indah dan nikmatnya Islam. Rasanya ada semangat kembali untuk memakai jilbab dengan lebih baik lagi. Setelah selama dua tahun yang lalu, tepatnya saat kelas dua MTs sempat memulai untuk berjilbab. Namun, rintangan demi rintangan datang silih berganti melawanku seorang diri.

            Kronologinya begini, saat itu aku duduk di bangku kelas dua Mts. aku pergi ke perpustakaan sekolah. Aku membaca buku-buku tafsir yang tersedia di sana. Aku juga banyak membaca buku-buku tentang siksa kubur, hari kiamat, dan majalah-majalah islam yang menampilkan gambar-gambar siksa neraka. Dari buku tersebut tahulah aku bahwa seorang perempuan yang sudah baligh jika membuka auratnya kepada selain mahramnya di akhirat kelak rambutnya akan diikat ke atas sampai mendidih. Bagai orang diburu setan aku lari pontang-panting menuju kelas karena ketakutan. Keringat dingin mengucur dan rasa khawatir akan dosa-dosa selama ini rasanya begitu membuncah. Hingga akhirnya kuberanikan diri kepada Pak Guru yang saat itu sedang mengajar. Jadilah beliau bercerita panjang lebar agar kami senantiasa menutup aurat meskipun zaman modern telah menggerogoti nilai-nilai islam perlahan-lahan.

            Alhasil, kukenakanlah jilbab setiap kali keluar rumah. Namun, apa yang terjadi? Halangan dan rintangan selalu saja datang silih berganti menghampiri hamba-hambaNya yang ingin bertaqwa. Inilah kisahnya.

            Di suatu siang bolong, nenek sedang mengeringkan padi.

            “Diyah, bisa belikan gula di toko depan?”

            “Iya, Nek sebentar.” Setelah mengambil uang, segera kukenakan jilbab di belakang rumah gar tidak terlihat oleh nenek. Sedangkan, setelah pulang kembali kulepas jilbab di belakang rumah agar tidak diketahui beliau kalau barusaja kukenakan jilbab. Begitulah, sampai awal kelas IX MTs, selalu saja sembunyi-sembunyi setiap kali menggunakan jilbab ke luar rumah.

            Saat keluar rumah seringkali harus uring-uringan dengan beliau. Kenapa lama sekali padahal mau keluar sebentar di toko depan rumah. Gunjingan itu tentunya tidak hanya dari nenek, ibu, keluarga besar, tetapi juga tetangga. Pernah suatu ketika saat ibu sudah kerja di luar negeri. Tiba-tiba keluarga besar nenek menyidangku seorang diri.

            “Kamu ikut aliran apa sih? Kamu ikut partai X ya?” Nenek mulai menyidangku di hadapan semua keluarga yang sedang silaturrahim hari raya saat itu.

            “Saya hanya mengikuti apa yang menurut saya benar.” Dengan tertunduk kujawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

            “Apakah ajaran itu mengajarkan tidak salaman dengan orang laki-laki selain mahrommu?”

            “Iya.” Kujawab tegas kali ini.

            Semenjak itu, hari-hari penuh derita akan segera dimulai. Meskipun, ibu belum di rumah, tetapi ujian itu selalu datang silih berganti dari keluarga besar dan tetangga-tetangga. Alhasil, jadilah saya menangis setiap malam. Menjadi gunjingan mereka dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka.

            Puncaknya dari semuanya adalah saat malam itu, adzan maghrib baru saja dikumandangkan. Ibu baru saja pulang dari laur negeri. Beliau belum tahu seperti apa perkembangan putrinya. Beliau tahunya dari tetangga-tetangga yang sudah jelas tidak suka denganku. Disinari satu lampu neon, di ruang tamu sederhana itu ibu memintaku pergi dari rumah jika tetap saja kukenakan jilbabku di rumah. Bagaimana hati seorang remaja yang menjalani ingin menjalani hidup menjadi lebih baik dengan mendekatkan diri kepada Sang PenciptaNya. Namun, ujian dari keluarga begitu kerasnya. Namun, Tidak ada yang sia-sia di hadapanNya atas kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan untuk mengharap ridhoNya.

            Ibu mendapatkan musibah yang cukup berat. Tak ada satu orang pun yang mau membantu ibu. Nenek tidak membantu sama sekali. Apalagi, tetangga-tetangga yang sudah bercerita tentang saya yang berjilbab, tidak salaman dengan laki-laki non mahrom, dsb. Tak ada yang mau membantu beliau sama sekali. Namun, seorang anak bagaimanapun kondisi ibu yang telah mengusir kita dari rumah. Beliau jugalah yang telah melahirkan kita ke dunia. Berbekal ilmu yang sudah kudapatkan di kajian pekanan di SMA tentang ibu, maka kuniatkan diri untuk berbakti padanya. Kudampingi beliau di setiap kesulitannya, hingga dengan izin Allah, selesailah permasalah ibu tersebut.

***

            Mata ibu berkaca-kaca. Ibu memeluk dan menciumku serta berpamitan denganku saat beliau mau kembali ke Malaysia. Saat ini beliau tahu siapa putrinya dan akhirnya sangat menyayangi putrinya ini. Saat ini ibulah tempat berbagi. Ibulah yang selalu hadir saat semua mata kembali mengacuhkanku. Begitupun aku. Akulah yang pertama datang kepadanya untuk selalu berada di sampingnya saat semua orangpun enggan datang kepadanya.

            Kini, dengan pertolonganNya pun, aku sedang menempuh pendidikan tinggi gratis dariNya. Tanpa membayar sepeserpun malah mendapatkan uang bulanan yang lumayan untukku. Ibu semakin mencintai putrinya dan bangga dengan jilbab lebarku kutunjukkan padanya bahwa aku bisa berprestasi dan membanggakannya.

            “Mutiara adalah batu yang tercipta dari kesakitan dan tekanan-tekanan yang bertahun-tahun. Alhasil, mutiara mempunyai nilai jual yang sangat tinggi dibandingkan dengan batu kerikil. Sedangkan batu kerikil terbentuk dengan waktu yang cukup singkat dengan tekanan yang ringan, akhirnya dia hanya menjadi batu yang berada di jalan-jalan dan diinjak oleh orang-orang. Artinya, nilai seseorang dibentuk dari seberapa besarkah dirinya mampu menghadai rintangan-rintangan yang Allah berikan untuk menjadikan dirinya sebagai mutiara.”

            Rapsodi rinai malam itu mengantarkanku pada kebahagian-kebahagian bersama ibu dengan jilbabku. Seberapa kuat keinginan mengenakannya, sekuat itulah Dia menggenggammu dan menunjukkan jalan terbaikNya untukmu.

 

*Rinai: gerimis

*Mahrom: orang yang haram dinikahi

           

 

           

 

 

 

Diyah Ayu Candra. Lahir di Sidoarjo, 8 Januari 1992. Alamat rumah orangtua di Dusun Morosebo, RT 01/02 Desa Gandong, Kecamatan Bandung, Kabupaten Tulungagung. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD N Gandong 2, kemudian menamatkan pendidikan menengah di MTs N Bandung, terakhir telah menyelesaikan pedidikan tingkat atas SMA N 1 Durenan kabupaten Trenggalek. Sekarang sedang menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Prodi S1 Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Malang.

Selain aktif di bidang akademik penulis juga aktif di berbagai organisasi selama menempuh studinya di berbagai jenjang. Pengalaman Organisasi tersebut diantaranya, redaktur organisasi majalah SMA N 1 Durenan 2008-2009, anggota organisasi Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMA N 1 Durenan 2008-2009, bedahara umum Sie Kerohanian Islam (SKI) SMAN 1 Durenan 2008-2009, anggota pramuka SMA N 1 Durenan 2008, wakil ketua Forum Remaja Muslimah (FOPMUS) Trenggalek 2008, anggota HMJ Sastra Indonesia 2011, anggota FLP 2011, Sekretaris Umum Sie Kerohanian Islam Sastra Indonesia 2011, dan koordinator Malang Forum Silaturrahim Mahasiswa Muslim (FORSMILE) Trenggalek.

            Terakhir aktif di BEM Fakultas Sastra, Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Universitas Negeri Malang dan organisasi Al-Qur’an Study Club (ASC) Al Hikmah Universitas Negeri Malang. Sekarang penulis sedang meraih mimpi untuk menjadi penulis buku best seller, menjadi dosen, dan mendirikan sekolah islam terpadu.

No Hp: 085 746 09 2238

Email: diysholihah@gmail.com